Pemandangan Gunung Fuji dan Pohon Maple Daun Merah

Pemandangan Gunung Fuji dan Pohon Maple Daun Merah

Sunday, March 1, 2015

Tokoh Sastra Klasik Jepang: Murasaki Shikibu, Kehidupan Murasaki di Istana

Budaya dan kehidupan istana Heian mencapai puncak kejayaan pada awal abad ke-11. Populasi penduduk Kyoto bertambah hingga kira-kira 100.000 orang, seiring dengan makin terisolasinya kaum bangsawan yang berdinas sebagai pejabat di kantor pemerintahan dan biro istana. Dayang-dayang menjadi sangat termanja dan kurang pekerjaan, sekaligus terisolasi dari kenyataan. Mereka disibukkan dengan hal-hal kecil dari kehidupan istana, dan beralih meminati bidang seni. Luapan perasaan biasanya dinyatakan secara artistik melalui penggunaan kain-kain mahal, wewangian, kaligrafi, kertas berwarna, puisi, dan berlapis-lapis pakaian dengan kombinasi warna-warni yang menyenangkan, mengikuti suasana hati dan musim. Dayang-dayang yang tidak dapat menunjukkan kemampuan mengikuti estetika konvensional akan cepat kehilangan popularitas, terutama di istana. Hiburan populer di kalangan wanita aristokrat Heian, selain menulis puisi dan buku harian, adalah menyeleweng dengan pria lain. Wanita aristokrat Heian terikat aturan cara berpakaian yang ketat, rambut harus panjang terurai hingga ke lantai, kulit harus putih, dan gigi harus dihitamkan. Karya sastra hasil penulis wanita Istana Heian diakui sebagai karya sastra Jepang tertua sekaligus terbaik yang ditulis dalam bentuk syair.


Pada tahun 995, dua saudara laki-laki Michinaga yang bernama Fujiwara no Michitaka dan Fujiwara no Michikane meninggal dunia sehingga jabatan bupati menjadi kosong. Michinaga segera bertindak dan memenangi perebutan kekuasaan melawan keponakan bernama Fujiwara no Korechika (saudara laki-laki dari istri Kaisar Ichijō yang bernama Fujiwara no Teishi). Berkat bantuan saudara perempuan bernama Senshi, Michinaga memperoleh jabatan bupati. Teishi kehilangan kekuasaan setelah mendukung Korechika (kakaknya) yang kemudian dikucilkan dan diasingkan dari istana. Empat tahun kemudian Michinaga mengirimkan Shōshi, putri sulungnya ke rumah selir Kaisar Ichijo. Ketika itu Shōshi berusia kira-kira 12 tahun.Michinaga mengangkat Shōshi yang sudah setahun tinggal di rumah selir kaisar sebagai permaisuri. Tindakan itu dilakukannya dengan maksud memperkuat kedududukan putrinya di istana serta memperkecil pengaruh Teishi yang sebelumnya sudah memegang gelar permaisuri. Sejarawan Donald Shively menjelaskan bahwa, "Michinaga bahkan mengejutkan para pengagumnya dengan mengatur pengangkatan Teishi (alias Sadako) dan Shōshi, kedua-duanya sebagai permaisuri dari seorang kaisar bertahta. Teishi diberi gelar kōgō dan Shōshi diberi gelar chūgū, keduanya berarti permaisuri. Sekitar lima tahun kemudian, Michinaga mengajak Murasaki untuk tinggal di istana sebagai guru untuk Shōshi, jabatan yang menurut Bowring sebagai pendamping sekaligus pendidik.

Kehidupan di Istana Heian tidak hanya sangat modis, melainkan juga tidak bermoral. Wanita tinggal terkucil dalam istana. Mereka hanya dikenal dengan nama panggilan mereka, dan melalui pernikahan strategis, wanita dipakai untuk memperoleh kekuasaan politik. Meskipun hidup terkucil, sejumlah wanita berhasil memiliki pengaruh yang cukup besar, sering kekuasaan tersebut diperoleh melalui persaingan antarklik (kelompok), dan bergantung kepada kualitas para anggotanya.Putri Senshi (ibu dari Ichijō dan saudara perempuan Michinaga) memimpin klik berpengaruh. Michinaga mungkin menginginkan Shōshi dikelilingi oleh wanita cakap seperti Murasaki untuk membangun sebuah klik pesaing.

 Shōshi berusia antara 16 hingga 19 tahun saat Murasaki mulai mengabdi di istana. Menurut Arthur Waley, Shōshi adalah seorang wanita berpikiran serius yang membagi waktunya antara rumah tinggal ayahnya dan kehidupan di istana kaisar.Dia dikelilingi oleh penulis-penulis wanita berbakat seperti Izumi Shikibu dan Akazome Emon. Keduanya adalah penulis sejarah vernakular kuno Hikayat Eiga (Eiga Monogatari).Persaingan antarwanita secara jelas dicatat dalam buku harian Murasaki. Mengenai Izumi, ia menulis dengan nada meremehkan, "Izumi Shikibu adalah seorang penulis surat yang menarik, tetapi ada sesuatu yang tidak sangat memuaskan tentang dia. Dia mempunyai bakat untuk dengan cepat menulis komposisi informal yang ditulisnya dengan teknik serampangan dan ceroboh, tapi dalam puisi dia membutuhkan entah subjek yang menarik atau beberapa model klasik untuk ditiru. Memang tidak terlihat olehku bahwa dia betul-betul seorang penyair."

Sei Shōnagon, penulis Buku Bantal (Makura no Sōshi) sudah mengabdi sebagai dayang untuk Teishi ketika Shōshi mulai tinggal di istana. Oleh karena itu, ada kemungkinan Murasaki diundang ke istana Shōshi untuk menjadi pesaing Shōnagon. Teishi meninggal pada tahun 1001, sebelum Murasaki mulai mengabdi untuk Shōshi. Keduanya tidak pernah bekerja di istana pada waktu bersamaan. Namun dalam buku hariannya, Murasaki menulis tentang Shōnagon, tampaknya dia kenal siapa itu Shōnagon, atau setidaknya terpengaruh olehnya.Shōnagon mungkin menulis Buku Bantal setelah ditugaskan oleh istana untuk menulis suatu bentuk propaganda bagi istana Teishi yang dikenal memiliki dayang-dayang berpendidikan. Ahli sastra Jepang, Joshua Mostow berpendapat bahwa Michinaga menugaskan Murasaki sebagai dayang untuk Shōshi karena memandangnya sebagai seorang wanita berpendidikan setara atau lebih baik daripada Shōnagon. Dia ingin memperlihatkan kehebatan istana Shōshi dengan cara seperti yang dilakukan Shōnagon.

Murasaki dan Shōnagon masing-masing memiliki temperamen yang berbeda. Shōnagon jenaka, cerdas, dan terus terang, sementara Murasaki terlihat menahan diri dan sensitif. Catatan-catatan dalam buku harian Murasaki menunjukkan bahwa keduanya mungkin tidak akur. Murasaki menulis, "Sei Shōnagon ... itu sangat sombong. Dia berpikir dirinya begitu pintar, menyampahi karangannya dengan karakter Tionghoa hingga hanya sedikit yang bisa diharapkan."Keene berpendapat bahwa kesan Murasaki tentang Shōnagon bisa saja dipengaruhi oleh Shōshi dan para wanita di istananya karena Shōnagon bekerja untuk Teishi, permaisuri saingan majikannya. Selanjutnya, dia percaya Murasaki dibawa ke istana untuk menulis Hikayat Genji sebagai pesaing Buku Bantal dari Shōnagon yang lebih dulu populer. Murasaki bertolak belakang dari Shōnagon dalam berbagai cara. Dia mencaci genre buku bantal, dan tidak seperti halnya Shōnagon yang senang memamerkan pengetahuannya tentang Cina, Murasaki pura-pura tidak mengerti bahasa Tionghoa.

Lukisan abad ke 17 karya Tosa Mitsuokiyang melukiskan Murasaki sedang menulis


Meskipun orang zaman Heian sudah menganggap budaya Cina dan seni Cina ketinggalan zaman, beberapa syair Tionghoa tetap populer, termasuk syair yang ditulis oleh Bai Juyi, terutama disebabkan penggunaan bahasanya yang sederhana. Murasaki mengajarkan bahasa Tionghoa kepada Shōshi untuk memahami seni Cina dan syair karya Bai Juyi. Setelah menjadi permaisuri, Shōshi memasang pembatas ruangan berhiaskan kaligrafi aksara Tionghoa di istananya. Perbuatannya tersebut memancing kemarahan bangsawan pria yang menganggap aksara Tionghoa hanya untuk pria. Oleh karena itu, pembatas ruangan tersebut disingkirkan dari istana tempat tinggal wanita.Studi tentang Cina dianggap tidak wajar untuk seorang wanita terhormat dan melawan gagasan bahwa hanya laki-laki yang dapat menguasai sastra. Wanita diharuskan hanya dapat membaca dan menulis dalam bahasa Jepang, sehingga mereka dapat dipisahkan dari struktur kekuasaan dan pemerintahan melalui kecakapan penggunaan bahasa. Murasaki adalah seorang wanita yang menerima pendidikan secara nonkonvensional dan menguasai bahasa Tionghoa Klasik. Ia adalah salah seorang dari sedikit wanita yang mampu mengajar bahasa Tionghoa Klasik untuk Shōshi. Bowring menulis bahwa itu sama saja dengan "hampir subversif" bila laki-laki di istana tahu Murasaki dapat berbahasa Tionghoa dan mengajarkannya kepada Shōshi. Murasaki selalu tutup mulut menyembunyikan dirinya terdidik dalam bahasa Tionghoa. Pelajaran bahasa Tionghoa diberikannya kepada Shoshi secara rahasia. Dalam buku hariannya, dia menulis, "Sejak musim panas lalu ... dengan sangat rahasia, mencuri-curi waktu ketika kebetulan tidak ada orang di sekeliling kami, aku membaca bersama Yang Mulia ... Tentu saja ada tidak ada pelajaran resmi ... Aku pikir lebih baik untuk tidak mengatakan apa pun mengenai hal ini kepada siapa pun ".

Murasaki kemungkinan memperoleh julukan kedua, dayang ahli sejarah (Nihongi no tsubone), setelah mengajarkan literatur Tionghoa kepada Shōshi. Seorang dayang yang tidak menyukai Murasaki menuduhnya memamerkan pengetahuan tentang Cina dan mulai memanggilnya dayang ahli sejarah, sebagai sebuah alusi pada buku sejarah Nihon Shoki. Julukan tersebut mulai diberikan kepadanya setelah terjadi sebuah insiden di istana. Bab-bab dari Hikayat Genji dibacakan keras-keras kepada kaisar dan pejabat tinggi lainnya. Seorang di antara pejabat melontarkan pujian bahwa penulisnya pasti berpendidikan tinggi. Murasaki menulis dalam buku hariannya, "Benar-benar konyol! Apakah aku, yang ragu untuk mengungkapkan pendidikan yang telah kudapat kepada perempuanku di rumah, pernah berpikir untuk melakukannya di istana?"Meskipun dimaksudkan untuk mencemooh, Mulhern berpendapat Murasaki mungkin tersanjung dengan julukan barunya itu.

Kontradiksi terjadi di istana sehubungan pemakaian bahasa Tionghoa. Di istana Teishi, budaya Cina disanjung-sanjung dan dipandang sebagai simbol kekuasaan kaisar. Namun, kelompok pengikut Shōshi menunjukkan permusuhan terhadap bahasa Tionghoa. Hal tersebut mungkin disebabkan kepatutan politik. Meskipun Shōshi sendiri sudah mempelajarinya, bahasa Tionghoa mulai ditolak dan diganti dengan bahasa Jepang. Permusuhan dengan Teishi mungkin telah mempengaruhi Murasaki dan opininya terhadap istana, dan memaksa dirinya untuk menyembunyikan pengetahuannya tentang Cina. Tidak seperti Shōnagon yang suka pamer dan genit, sekaligus terang-terangan memperlihatkan pengetahuannya tentang bahasa Tionghoa, Murasaki tampak lebih rendah hati, sikap yang mungkin membuat Michinaga terkesan. Meskipun Murasaki menggunakan aksara Tionghoa dan memasukkan unsur-unsurnya ke dalam karangannya, di hadapan publik dia menolak bahasa Tionghoa, sikap terpuji yang dilakukannya selama periode perkembangan budaya Jepang.


Murasaki tampaknya tidak puas dengan kehidupan istana. Dia menjadi pendiam dan muram. Tidak ada dokumen sejarah yang masih tersisa dan menunjukkan bahwa dia pernah mengikuti kompetisi puisi. Meskipun demikian, ia tampaknya sering tukar menukar sejumlah kecil puisi atau surat dengan wanita lain selama bertugas. Secara umum, tidak seperti Sei Shōnagon, Murasaki dalam buku hariannya memberi kesan bahwa dia tidak menyukai kehidupan istana, dayang-dayang lain, dan pesta pora bermabuk-mabukan. Meskipun demikian, dia menjadi teman akrab dengan dayang bernama Saishō, dan dia menulis tentang musim dingin yang disukainya, "Aku senang melihat salju di sini".

Menurut Waley, Murasaki mungkin belum puas dengan kehidupan di istana secara umum, namun sudah bosan di istana Shōshi. Ia berspekulasi bahwa Murasaki lebih suka melayani dengan Putri Senshi yang memiliki suasana rumah tangga tidak terlalu ketat dan lebih menyenangkan. Dalam buku hariannya, Murasaki menulis tentang istana Shōshi itu, "[Dia] mengumpulkan sejumlah wanita muda yang sangat layak di sekelilingnya... Yang Mulia mulai memperoleh pengalaman lebih banyak dalam hidup, dan tidak lagi menghakimi orang lain dengan standar kaku seperti sebelumnya. Namun istana tempat tinggalnya sudah mendapat reputasi untuk kebosanan luar biasa".


Murasaki tidak menyukai laki-laki di istana yang dia anggap suka mabuk dan bodoh. Namun, beberapa ahli sastra, seperti Waley yakin bahwa dia terlibat asmara dengan Michinaga. Paling tidak, Michinaga mengejar dan mendesaknya. Pengalamannya main mata dengan Michinaga dicatatnya di buku harian setidaknya mulai tahun 1010. Namun sebagai kontradiksi, ada pula puisi yang ditulisnya sebagai berikut, "Kau belum membaca buku tulisanku, atau memenangkan cintaku." Dalam buku hariannya dia mencatat harus menghindari pendekatan dari Michinaga. Pada suatu malam dia menyelinap ke kamar Murasaki, mencuri sebuah bab Hikayat Genji yang baru saja selesai ditulis. Namun Michinaga penting baginya sebagai pelindung kalau dia ingin terus bisa menulis.Murasaki menjelaskan kegiatan putrinya di istana, mengenai upacara mewah, masa pacaran yang rumit, dan "kompleksitas sistem perkawinan", termasuk di antaranya ketika Shōshi melahirkan dua orang putra yang dicatatnya secara mendetail.

Sangat mungkin bahwa Murasaki menikmati menulis dalam kesendirian. Dia percaya dirinya tidak cocok dengan suasana umum di istana, seperti ditulisnya untuk diri sendiri, "Aku terkungkung di dalam studi kisah-kisah kuno ... hidup sepanjang waktu di dalam dunia puisi milik sendiri sambil hampir tidak menyadari keberadaan orang lain .... Tapi ketika mereka mengenalku, mereka akan sangat terkejut setelah mengetahui aku baik dan lembut."  Inge mengatakan bahwa dia terlalu vokal untuk dapat berteman dengan orang-orang di istana. Mulhern berpendapat kehidupan istana yang dijalani Murasaki relatif tenang dibandingkan dengan penyair istana lainnya. Mulhern berspekulasi bahwa komentarnya tentang Izumi tidak terlalu banyak ditujukan kepada puisi hasil karya Izumi, tetapi kepada perilakunya, kurangnya moralitas dan koneksinya di istana yang tidak disetujui Murasaki.

Hirarki sangat penting bangsawan Heian, dan Murasaki tidak merasa dirinya punya banyak, andaikan ada, kesamaan dengan klan Fujiwara yang berkedudukan lebih tinggi dan berkuasa. Dalam buku hariannya, dia menulis tentang hidupnya di istana, "Aku menyadari bahwa status keluargaku berasal dari percabangan keluarga tingkat rendah, tetapi pemikiran tentang itu jarang mengganggu ku. Aku tidak merasa rendah diri sehingga kehidupan di istana tidak bagaikan siksaan terus-menerus untukku".Jabatan di istana berarti pula kenaikan status sosial bagi dirinya, tapi lebih penting lagi adalah kesempatan memperoleh lebih banyak pengalaman untuk ditulis. Kehidupan istana, seperti yang dialaminya juga tercermin dalam bab-bab Hikayat Genji yang ditulisnya setelah dia menjadi abdi Shōshi. Nama panggilannya, Murasaki, kemungkinan diberikan pada kesempatan makan malam di istana. Peristiwa tersebut dicatatnya dalam buku harian. Pada kira-kira tahun 1008, penyair istana terkenal Fujiwara no Kintō bertanya-tanya siapa itu "Murasaki Muda", alusi pada tokoh bernama Murasaki dalam Hikayat Genji. Mungkin julukan itu dimaksudkannya sebagai pujian dari penyair pria istana kepada seorang penyair wanita.

 sumber: id.wikipedia.com

No comments:

Post a Comment