Lukisan kuno tentang Pangeran Shotoku |
Pangeran Shōtoku (聖徳太子 Shōtoku Taishi ) (lahir 7 Februari 574 – meninggal 8 April 622 pada umur 48 tahun) adalah nama yang diberikan orang kepada negarawan Jepang yang hidup pada zaman Asuka, dari masa pemerintahan Kaisar Bidatsu hingga Kaisar Suiko. Nama aslinya adalah Pangeran Umayado.
Ayahnya konon adalah Kaisar Yōmei, sedangkan ibunya bernama Putri Anahobe no Hashihito, anak perempuan Kaisar Kimmei. Dalam Jōgū Shōtoku Hōō Teisetsu (biografi Pangeran Shōtoku) ditulis bahwa ia memiliki seorang putra bernama Pangeran Yamashiro.
Nama aslinya adalah Umayato (厩戸 ). Menurut legenda, ia lahir di depan pintu (to) kandang kuda (umaya). Menurut kisah lain, Umayato adalah nama daerah tempat kelahirannya. Nama-nama lain untuk Pangeran Shōtoku termasuk di antaranya Toyosatomimi (豊聡耳 ) dan Kamitsumiya Ō (上宮王 , Pangeran Kamitsumiya). Dalam Kojiki, namanya ditulis sebagai Kamitsumiya no Umayado no Toyosatomimi no Mikoto (上宮之厩戸豊聡耳命 ). Selain Pangeran Umayado, namanya dalam Nihon Shoki disebut sebagai Toyomimisato Shōtoku (豊耳聡聖徳 ), Toyosatomimi Hōdai Ō (豊聡耳法大王), atau Hōshu Ō (法主王 ). Pangeran Shōtoku adalah nama pemberian orang yang mulai digunakan secara luas sejak zaman Heian. Sekarang, sebagian buku pelajaran sejarah di Jepang lebih suka menyebutnya sebagai Pangeran Umayado.
Lukisan potret Pangeran Shōtoku pada uang kertas 10.000 yen |
Pangeran Umayado lahir pada tahun 574 dari ibu bernama Putri Anahobe no Hashihito, dan ayah bernama Tachibana no Toyohino Sumeramikoto (Kaisar Yōmei). Hubungan darah Pangeran Umayado dengan klan Soga sangat erat. Nenek dari pihak ayah adalah putri Soga no Iname yang bernama Putri Kitashi. Sementara itu, nenek dari pihak ibunya adalah adik perempuan Putri Kitashi yang bernama Oane no Kimi.
Pada tahun 585, Kaisar Bidatsu mangkat dan ayah Pangeran Umayado naik tahta sebagai Kaisar Yōmei. Pada waktu itu sedang terjadi pertentangan soal penyebaran agama Buddha antara kelompok penganut Buddha pimpinan Soga no Umako dan kelompok anti-Buddhisme pimpinan Mononobe no Moriya. Setelah bertahta kurang dari dua tahun, Kaisar Yōmei mangkat. Pertikaian terjadi sehubungan suksesi tahta. Umako membunuh Pangeran Anahobe calon kaisar pihak Moriya. Pembunuhan dilakukan setelah mendapat perintah dari Putri Toyomi Kekashikiya (permaisuri almarhum Kaisar Bidatsu).
Bersama sejumlah bangsawan dan pangeran, Soga no Umako memimpin pasukan berjumlah besar untuk menghabisi Mononobe no Moriya. Pangeran Umayado juga ikut bergabung. Rumah kediaman Moriya di distrik Shibugawa, Provinsi Kawachi diserang. Pasukan klan Mononobe ternyata sangat kuat karena terdiri dari para samurai. Mereka mendirikan benteng dari dinding jerami untuk menahan serangan panah lawan. Pasukan yang dipimpin Umako sempat dipukul mundur oleh pasukan Mononobe hingga tiga kali. Pangeran Umayado lalu menebang sebatang pohon untuk diukir menjadi patung Shitennō (Raja Langit Keempat Penjuru). Setelah itu, Pangeran Umayado berdoa kepada Shitennō agar diberi kemenangan dalam pertempuran. Bila menang, ia berjanji membuat pagoda dan menyebarluaskan agama Buddha. Pasukan Umako kembali menyerang pasukan Mononobe. Tomi no Ichii dari pasukan Umako menewaskan Mononobe no Moriya dengan anak panahnya, dan pasukan Mononobe cerai-berai. Klan Mononobe yang dulunya merupakan klan besar juga ikut hancur.
Seusai perang, Pangeran Hatsusebe diangkat sebagai Kaisar Sushun oleh Soga no Umako yang menjalankan kekuasaan politik. Kaisar Sushun tidak puas, dan menjadi musuh Umako. Setelah menerima perintah dari Umako, Yamato no Ayanokoma membunuh Kaisar Sushun. Putri Toyomi Kekashikiya diangkat Umako menjadi Kaisar Suiko. Pengangkatan ini menjadikan Kaisar Suiko sebagai kaisar wanita pertama dalam sejarah Jepang. Pangeran Umayado juga diangkat sebagai putra mahkota. Pada tahun 593, Pangeran Umayado diangkat sebagai sesshō. Bersama Soga no Umako, Pangeran Umayado membantu bibinya, Kaisar Suiko dalam menjalankan pemerintahan.
Pada tahun yang sama (593), Pangeran Umayado membangun Shitennō-ji, sebuah kuil Buddha di Naniwa, Provinsi Settsu. Kuil ini dibangun untuk memenuhi janji kepada Shitennō yang dipercayanya telah memberi kemenangan melawan klan Mononobe. Tahun berikutnya (594), Kaisar Suiko mengeluarkan perintah penyebarluasan agama Buddha. Pada tahun 595, biksu Eji datang dari Goguryeo, dan menjadi guru Pangeran Umayado. Ia menerima kabar dari biksu Eji tentang Dinasti Sui sebagai negara besar dengan organisasi pemerintahan yang teratur dan melindungi Buddhisme.
Pada tahun 600, Kaisar Suiko mengirim ekspedisi penaklukan negeri Silla, dan membuatnya berjanji mengirim upeti.
Menurut Buku Dinasti Sui, pada tahun 600 dicatat tentang kedatangan Kenzui-shi atau duta kekaisaran asal negara Wa (Yamato atau Jepang) yang pertama kalinya. Namun sebaliknya di Jepang, peristiwa ini tidak dicatat dalam Nihon Shoki.
Tahun berikutnya (601), Kaisar Suiko memulai pembangunan Istana Ikaruga. Pada tahun berikutnya (602), pasukan dikumpulkan untuk diberangkatkan dalam ekspedisi penaklukan Silla. Adik kandung lain ayah dari Pangeran Umayado yang bernama Pangeran Kume diangkat sebagai pemimpin pasukan. Di Provinsi Tsukushi (Kyushu) berkumpul sejumlah 25 ribu prajurit yang siap menyeberang ke Silla, namun Pangeran Kume meninggal secara mendadak. Ada kisah yang mengatakan Pangeran Kume tewas oleh pembunuh bayaran yang tiba dari Silla. Sebagai penggantinya ditunjuk Pangeran Taima (adik Pangeran Umayado dari lain ibu), tapi ia harus kembali ke ibu kota karena istrinya meninggal. Pada akhirnya, ekspedisi penaklukan Silla dibatalkan.
Pada tahun 603, pemerintah menetapkan sistem Dua Belas Jenjang Jabatan Hiasan Kepala (Kan'i Jūnikai). Pejabat yang berprestasi bisa menempati jabatan yang tinggi tanpa mengenal asal usul klan dan keluarga. Tahun berikutnya (604), Pangeran Shōtoku menulis Konsitusi Tujuh Belas Pasal (Jūshichijō kenpō). Konstitusi ini menekankan kepatuhan kalangan bangsawan kepada kaisar, dan penghormatan terhadap Buddha.
Patung Pangeran Shōtoku di Asuka-dera (kuil di Prefektur Nara) |
Selanjutnya, Pangeran Umayado semakin mendalami agama Buddha. Penulisan buku Ulasan Tiga Sutra (Sangyō Gisho) berhasil diselesaikan tahun 615.
Pada tahun 620, Pangeran Umayado bersama Soga no Umako menyunting buku sejarah Jepang berjudul Kokuki (Kunibumi) dan Tennōki (Sumeramikoto no Fumi).
Pangeran Umayado jatuh sakit pada tahun 622 di Istana Ikaruga. Istrinya yang bernama Kashiwade no Ōiratsume berdoa untuk kesembuhannya, namun justru meninggal dunia. Keesokan harinya, Pangeran Umayado juga tutup usia.
Asal-usul nama
Semasa hidupnya, Pangeran Umayado tidak disebut sebagai Pangeran Shōtoku. Lebih dari seratus tahun setelah meninggal dunia, nama "Pangeran Shōtoku" pertama kali disebut-sebut dalam catatan sejarah Kaifūsō (diperkirakan disunting tahun 751) dan Nihon Shoki (720). Dalam Nihon Shoki, nama "Shōtoku" disebut dalam pembahasan mengenai Kaisar Bidatsu, tapi bukan "Shōtoku Taishi".Nama Pangeran Shōtoku banyak disebut dalam buku sejarah asal zaman Heian seperti Nihon Sandai Jitsuroku, Ōkagami, Tōdai-ji Yōroku, dan Mizukagami. Semuanya tidak lagi menggunakan nama Umayado atau Toyosatomimi, sehingga diperkirakan nama Shōtoku Taishi mulai secara luas digunakan sejak zaman Heian.
Pangeran Shōtoku sering disebut sebagai pendiri sejumlah kuil di Jepang. Walaupun demikian, sebagian dari kuil-kuil tersebut diperkirakan dibangun pada abad berikutnya untuk menghormati Pangeran Shōtoku.
Legenda yang banyak beredar tentangnya sering berasal dari Kojiki dan Nihon Shoki. Keduanya selesai disunting satu abad setelah Pangeran Shōtoku meninggal dunia. Keadaan masyarakat sudah yang berbeda tercermin dalam latar belakang cerita, serta cerita yang diperkirakan sudah didramatisasi.
Legenda setempat menceritakan pada suatu waktu, Pangeran Umayado menerima kelompok orang yang masing-masing ingin menyampaikan petisinya. Sepuluh orang secara sekaligus berbicara secara bersamaan. Semua pernyataan yang diungkapkan masing-masing orang bisa dipahami pangeran tanpa ada sepatah kata pun yang terlewat. Jawaban yang diberikan pangeran pun sangat memuaskan. Sejak itu pangeran diberi julukan Toyosatomimi (bertelinga tajam). Kisah lain mengatakan kesepuluh orang tersebut menemui pangeran satu demi satu. Jawaban diberikan setelah mendengarkan semua petisi didengarkan. Legenda ini ingin menunjukkan ketajaman ingatan Pangeran Shōtoku.
No comments:
Post a Comment