Pemandangan Gunung Fuji dan Pohon Maple Daun Merah

Pemandangan Gunung Fuji dan Pohon Maple Daun Merah

Sunday, March 1, 2015

Tokoh Sastra Klasik Jepang: Murasaki Shikibu, masa muda Murasaki


Lukisan Kipas Murasaki Sedang bersantai di meja tulisnya di Kuil Ishiyama

Murasaki Shikibu lahir sekitar tahun 973 di Heian-kyō Jepang. Keluarganya adalah klan Fujiwara Utara dari garis keturunan Fujiwara no Yoshifusa, bupati Fujiwara pertama dari abad ke-9. Klan Fujiwara mendominasi politik istana hingga akhir abad ke-11 melalui pernikahan strategis antara anak-anak perempuan klan Fujiwara dan keluarga kekaisaran, serta kendali pemerintahan di tangan pejabat sessho dan kampaku. Pada abad ke-10 dan awal abad ke-11, Fujiwara no Michinaga mengatur pernikahan keempat putrinya dengan kaisar-kaisar, sehingga dirinya memperoleh kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.Kakek buyut dari Murasaki, Fujiwara no Kanesuke adalah pimpinan bangsawan istana, tetapi keluarga yang melahirkan Murasaki berasal dari percabangan keluarga yang kehilangan kekuasaan secara bertahap. Ketika ia lahir, menurut hirarki bangsawan Heian, kedudukan keluarganya sudah jatuh ke tingkat menengah hingga bawah, setara dengan keluarga gubernur-gubernur provinsi. Pada zaman itu, bangsawan tingkat rendah biasanya dikirim untuk bertugas jauh dari istana untuk menempati jabatan kering di daerah-daerah, jauh dari kekuasaan istana dan pemerintah pusat di Kyoto.

Meskipun sudah kehilangan status, keluarga Murasaki memiliki reputasi baik di kalangan sastrawan berkat kakek dan kakek buyut dari pihak ayah yang keduanya terkenal sebagai penyair. Kakek buyutnya bernama Fujiwara no Kanesuke yang berhasil memasukkan lima puluh enam puisi di dalam tiga belas antologi kekaisaran yang disebut Koleksi Tiga Puluh Enam Penyair dan Yamato Monogatari (Hikayat Yamato). Kakek buyut dan kakeknya sama-sama bersahabat dengan Ki no Tsurayuki, penyair yang terkenal karena memopulerkan syair dalam tulisan bahasa Jepang. Ayahnya bernama Fujiwara no Tametoki, lulusan akademi kekaisaran (Daigaku-ryō) yang menjadi penyair sekaligus cendekiawan sastra Tionghoa Klasik dan puisi-puisinya diterbitkan sebagai antologi syair.Ayahnya memasuki dinas pegawai negeri sekitar tahun 968 sebagai pejabat rendahan, namun terus naik pangkat hingga akhirnya diangkat sebagai gubernur pada tahun 996. Pengabdiannya tidak terputus hingga sekitar tahun 1018. Ibu Murasaki bernama Tametoki, juga berasal dari percabangan klan Fujiwara Utara. Orang tua Murasaki memiliki tiga anak, seorang putra dan dua orang putri.

Pada zaman Heian, nama anak perempuan tidak dicatat ke dalam buku keluarga. Nama asli Murasaki tidak diketahui, seperti sudah menjadi kebiasaan bagi perempuan dari zamannya, dia dikenal dengan nama panggilan, Murasaki Shikibu. Nama panggilan untuk perempuan zaman itu dikaitkan dengan kantor tempat bekerja pihak kerabat laki-laki. Shikibu berasal dari nama Biro Protokoler Istana (Shikibu-shō) tempat ayahnya bekerja sebagai pejabat. Murasaki berarti ungu, kemungkinan berasal dari warna bunga wisteria (bunga fuji), tapi kemungkinan besar Murasaki adalah nama panggilan untuknya di istana. Michinaga menyebutkan nama dayang-dayang catatan harian tahun 1007. Salah seorang di antara dayang-dayang bernama Fujiwara Takako alias Kyōshi, yang kemungkinan adalah nama sebenarnya dari Murasaki Shikibu.
Pada zaman Heian, suami dan istri tinggal di rumah terpisah. Meskipun menganut sistem patrilineal, anak-anak dibesarkan oleh pihak ibu. Keluarga Murasaki menyimpang kebiasaan karena Murasaki dibesarkan bersama adik laki-laki bernama Nobunori di rumah ayahnya yang kemungkinan besar berada di Jalan Teramachi, Kyoto. Ibu mereka sudah meninggal, kemungkinan ketika melahirkan atau ketika anak-anak masih kecil. Murasaki memiliki setidaknya tiga saudara tidak sekandung yang dibesarkan oleh ibu-ibu mereka. Dia sangat dekat dengan salah seorang saudara perempuan yang meninggal pada usia dua puluhan.
Murasaki lahir pada masa ketika Jepang menjadi lebih terisolasi, setelah diakhirinya utusan Kekaisaran Jepang ke Cina dan munculnya budaya nasional yang lebih kuat. Pada abad ke-9 dan abad ke-10, bahasa Jepang secara bertahap menjadi bahasa tulis setelah dikembangkannya aksara kana sebagai aksara silabis yang berasal dari penyederhanaan aksara Tionghoa. Pada zaman itu, laki-laki di kantor pemerintahan menulis bahasa Jepang memakai aksara Tionghoa, sedangkan aksara kana dipakai untuk menulis oleh wanita bangsawan.
Adik laki-laki Murasaki belajar bahasa Tionghoa sebagai persiapan kariernya di kantor pemerintah. Murasaki ketika masih anak-anak juga ikut belajar bersamanya, dan akhirnya menjadi mahir dalam bahasa Tionghoa Klasik. Dalam buku hariannya, dia menulis, "Ketika adik aku... masih kecil, dia belajar Tionghoa Klasik. Aku jadi kebiasaan mendengarkannya, dan akhirnya menjadi betul-betul mengerti bait-bait yang menurut adikku sulit untuk dimengerti dan dihafal. Ayahku, seorang pria yang terpelajar, selalu menyesali kenyataan itu: "Aku hanya kebetulan saja," begitu katanya, "'Sayang sekali dia tidak dilahirkan sebagai seorang laki-laki!'" Ketika bersama adiknya menerima pelajaran sastra Tionghoa, Murasaki juga kemungkinan diajari subjek-subjek yang lebih tradisional, seperti musik, kaligrafi dan tanka. Murasaki adalah seorang wanita yang berpendidikan tidak biasa. Louis Perez menjelaskan dalam The History of Japan bahwa "Perempuan [zaman itu] ... dianggap tidak memiliki cukup kecerdasan, dan karena itu tidak diajari bahasa Tionghoa."  Murasaki menyadari bahwa orang lain memandangnya sebagai perempuan "sok, canggung, sulit untuk didekati, aneh, terlalu menyukai cerita-cerita diri sendiri, angkuh, cenderung menulis dalam syair, meremehkan, serta suka mencemooh dan membantah". Cendekiawan sastra Asia Thomas Inge percaya dia memiliki "kepribadian kuat sehingga jarang disukai teman-temannya."

sumber: id.wikipedia.org

No comments:

Post a Comment